Fenomena judi online dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang menjadi salah satu tantangan sosial yang paling serius bagi kestabilan keluarga di Indonesia. Kemudahan akses, karakter permainan yang membuat ketagihan, serta sistem transaksi digital yang tidak terbatas menjadikan perjudian online bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga masalah sosial yang mengancam dasar moral dan spiritual keluarga. Dari sudut pandang hukum keluarga Islam, ancaman ini lebih dari sekadar isu ekonomi, melainkan sebuah bentuk penyimpangan yang menggoyang kekuatan rumah tangga dari segi akhlak, tanggung jawab, kepemimpinan, dan juga keharmonisan keluarga. Sebagai seorang akademisi, saya berpendapat bahwa risiko perjudian online tidak boleh dilihat hanya sebagai perilaku individu yang menyimpang, melainkan sebagai masalah yang kompleks dan multifaset yang memerlukan pendekatan teologis, psikologis, sosiologis, dan hukum secara menyeluruh.
Pertama, judi online merusak stabilitas ekonomi suatu keluarga, yang dalam hukum keluarga Islam dianggap sebagai salah satu dasar Maqāṣid al-Syarī‘ah, yaitu hifẓ al-māl (perlindungan kekayaan). Ketika seorang suami atau istri terjebak dalam perjudian online, proses kehilangan aset berlangsung dengan cepat dan tidak terkontrol. Sistem permainan digital didesain untuk memanipulasi cara pandang terhadap peluang, menciptakan harapan palsu untuk menang, dan mendorong perilaku untuk terus bertaruh secara online. Banyak kasus membuktikan bahwa seseorang dapat kehilangan seluruh pendapatannya hanya dalam beberapa jam. Krisis ekonomi yang seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengharuskan pengelolaan kekayaan dengan amanah dan bijaksana. Dalam QS. Al-Isra’ ayat 27, dijelaskan bahwa mereka yang boros dalam mengelola harta adalah “saudara setan,” sebuah perumpamaan yang kuat yang menunjukkan betapa besar kesalahan dan kerusakan moral yang ditimbulkan oleh perilaku konsumtif dan merusak seperti berjudi. Ketika perekonomian keluarga hancur, seluruh kestabilan rumah tangga juga terganggu kebutuhan anak terabaikan, utang menumpuk, dan tekanan mental semakin meningkat.
Kedua, risiko dari perjudian online juga ada pada kerusakan etika dan spiritual individu yang terlibat. Dalam pandangan hukum keluarga Islam, moralitas adalah dasar yang paling penting untuk sebuah perkawinan. Seseorang yang terjebak dalam perjudian online sering mengalami penurunan kualitas integritas, mulai dari kebiasaan berbohong, menyembunyikan transaksi, sampai mengambil uang dari keluarga, merupakan masalah yang sering terjadi. Islam melarang perjudian tidak hanya karena kerugian finansialnya, tetapi juga akibat dampak moral yang merusak. QS. Al-Māidah ayat 90-91 menggambarkan permainan judi sebagai “rijs min ‘amali al-syayṭān” (tindakan buruk yang termasuk perbuatan setan) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian. Ayat ini sesuai untuk menjelaskan mengapa perjudian daring sering kali menjadi penyebab pertikaian dan konflik yang berkepanjangan dalam keluarga. Hilangnya berkah dalam sebuah keluarga dimulai dari hilangnya kendali spiritual kepala keluarga atas hasratnya sendiri.
Ketiga, judi online memberikan efek yang signifikan pada peran dan tanggung jawab kepemimpinan dalam keluarga (qiwāmah). Dalam hukum keluarga Islam, suami diangkat sebagai qawwam, yang berarti pemimpin yang memiliki tanggung jawab atas biaya hidup, keamanan, dan kesejahteraan jasmani dan rohani istri serta anak-anak. Tetapi, ketika suami terlibat dalam perjudian daring, struktur kepemimpinan ini hancur. Dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dasar malah digunakan untuk bertaruh. Ini bukan hanya bentuk ketidakmampuan menjalankan fungsi qiwāmah, tetapi sebuah bentuk kezaliman dalam perspektif fiqh keluarga. Para ulama bahkan memandang bahwa perilaku yang merugikan hak-hak keluarga dapat menjadi alasan bagi istri untuk menuntut fasakh (pembatalan pernikahan), terutama jika suami tidak lagi mampu memberikan jaminan nafkah atau menimbulkan mudarat berat bagi keluarga.
Keempat, perjudian daring memiliki efek langsung pada kesehatan mental dan ikatan emosional di antara anggota keluarga. Ketegangan, rasa cemas, kecurigaan, dan pertikaian yang sering terjadi menjadi hal biasa dalam rumah tangga yang terpengaruh oleh judi online. Anak-anak menjadi pihak yang paling terpengaruh. Mereka menyaksikan perselisihan orang tua, merasakan pengabaian emosional, dan terjebak dalam situasi ekonomi keluarga yang tidak stabil. Dari sudut pandang maqāṣid al-syarī‘ah, melindungi keturunan (hifẓ al-nasl) tidak hanya berarti memastikan kelangsungan hidup secara biologis, tetapi juga menjaga pertumbuhan mental, spiritual, dan moral anak-anak. Ketika keluarga dipenuhi dengan konflik akibat judi online, fungsi pendidikan dasar dalam keluarga tidak dapat berfungsi dengan baik. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan malah berubah menjadi sumber trauma.
Kelima, judi online juga membawa dampak hukum dan sosial yang memperburuk kondisi keluarga. Banyak individu yang terlibat dalam judi online berakhir dengan utang dari pinjaman online yang tidak sah, mengalami tekanan penagihan yang memalukan, hingga terjerat dalam kejahatan seperti penggelapan dan pencurian. Saat pelaku harus menghadapi hukum, beban sosial pada keluarga semakin berat. Dalam perspektif hukum Islam, keluarga mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan izzah (martabat) dan reputasinya, namun judi online menghadirkan stigma yang dapat merusak hal tersebut. Situasi ini mendukung argumen bahwa judi online merupakan ancaman langsung bagi struktur sosial yang lebih luas.
Lalu bagaimana solusi dalam perspektif hukum keluarga Islam?
Pertama, penting untuk menerapkan metode pencegahan yang berlandaskan moral dan pendidikan digital. Masyarakat perlu disadarkan bahwa perjudian bukan hanya ilegal, tetapi juga melibatkan aspek dosa yang serius. Peningkatan literasi digital guna mencegah kecanduan juga sebaiknya diperluas, terutama untuk para ayah dan remaja pria yang cenderung lebih rentan. Institusi keluarga Islam seperti majelis taklim, kantor urusan agama, dan lembaga pendidikan memiliki peranan penting dalam memberi tahu masyarakat tentang risiko perjudian online.
Kedua, solusi harus mencakup cara penyelesaian dalam keluarga yang mendorong percakapan, konseling, dan mediasi. Konseling keluarga yang mengikuti prinsip syariah sangat krusial untuk memperbaiki hubungan emosional dan spiritual. Dukungan psikologis juga dibutuhkan karena ketergantungan pada judi merupakan jenis adiksi yang memerlukan bantuan terapi dari profesional.
Ketiga, dari sudut pandang hukum Islam, penting untuk memperkuat penerapan prinsip sadd al-dharā’i (menutup kemungkinan kerusakan). Negara harus memperkuat peraturan, menutup situs perjudian, dan memantau transaksi keuangan yang mencurigakan. Usaha untuk membatasi akses judi online merupakan bagian dari penerapan hukum Islam yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan.
Keempat, jika perilaku berjudi online telah menyebabkan kerugian yang parah dan suami tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan, maka istri berhak untuk mengajukan perceraian dengan alasan syar‘i, seperti ketidakmampuan memberi nafkah, perilaku negatif yang berulang (su’ul mu‘asyarah), dan tindakan yang menyebabkan penderitaan. Islam memberikan kesempatan bagi wanita untuk mengakhiri hubungan yang berpotensi merusak mental dan masa depannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, judi online bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan ancaman nyata bagi stabilitas keluarga. Dari sudut pandang hukum Islam mengenai keluarga, perlindungan terhadap rumah tangga bukan hanya menjadi tugas normatif, tetapi juga adalah tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial. Masyarakat, pemerintah, dan lembaga agama harus berkolaborasi untuk menghentikan siklus kerusakan ini. Ketahanan keluarga berfungsi sebagai benteng terakhir bagi masyarakat; jika ini hancur, seluruh struktur sosial juga akan lemah. Islam telah menegaskan sejak awal bahwa keluarga adalah tempat di mana ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah) muncul. Perjudian online bertentangan dengan ketiga nilai tersebut, sehingga usaha untuk melawannya adalah bagian dari usaha mempertahankan martabat dan masa depan umat manusia.
Penulis : Dr. Asman, M. Ag Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)

0 Komentar