SAMBAS – Di tengah derasnya
arus migrasi tenaga kerja dari Kabupaten Sambas menuju Malaysia, kerentanan
demi kerentanan masih menghantui langkah para pekerja migran, terutama yang
bekerja secara non-prosedural. Berangkat dari mimpi mencari penghidupan layak,
banyak di antara mereka justru terjebak dalam pusaran eksploitasi, kekerasan,
dan ketidakpastian hukum. Lalu, bagaimana peran kebijakan kedua negara dalam
menjawab persoalan ini?
Pemerintah Indonesia melalui
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sejatinya telah menggulirkan
sejumlah kebijakan afirmatif, seperti layanan terpadu satu atap penempatan PMI,
hingga kerja sama bilateral dalam bentuk Memorandum of Understanding
(MoU) dengan Malaysia.
Namun, efektivitas kebijakan
ini kerap tersendat di lapangan. Banyak calon pekerja migran dari Sambas yang
tetap memilih jalur ilegal karena prosedur resmi dinilai berbelit, lambat, dan
membutuhkan biaya besar. “Buat orang kampung, asal bisa berangkat cepat dan
langsung kerja, itu lebih penting,” ujar seorang tokoh masyarakat perbatasan di
Aruk.
Di sisi lain, Pemerintah
Malaysia juga telah menyusun regulasi ketenagakerjaan yang mencakup
perlindungan terhadap pekerja asing. Namun, perlindungan tersebut sebagian
besar hanya berlaku bagi pekerja yang terdaftar dan memiliki izin kerja sah.
Bagi mereka yang masuk secara ilegal, realitasnya jauh berbeda.
Dalam konteks Kabupaten
Sambas, sinergi antara pemerintah daerah, pusat, dan negara tujuan menjadi
sangat penting. Pelatihan pra-kerja, literasi hukum migrasi, dan penguatan
ekonomi lokal harus dilakukan secara simultan untuk menekan angka migrasi
non-prosedural.
Saat ini, langkah-langkah
kecil mulai terlihat. Pemerintah Indonesia dan Malaysia kembali membuka ruang
kerja sama melalui Joint Working Group (JWG) untuk memperbarui MoU
terkait pekerja domestik dan sektor informal. Di tingkat lokal, pos pelayanan
migrasi mulai diaktifkan di titik-titik strategis perbatasan Sambas.
Namun, jalan menuju perlindungan
menyeluruh bagi pekerja migran asal Sambas masih panjang. Dibutuhkan keberanian
politik dan ketegasan hukum untuk memutus rantai eksploitasi yang telah
mengakar.
Di ujung batas, para pekerja
migran masih menunggu negara hadir secara utuh, tapi lewat kebijakan nyata yang
melindungi hak dan martabat mereka sebagai manusia.
Penulis: AN
AM ALHAMZI (Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura)
0 Komentar