Pojokkatanews.com - Masyarakat Dusun Sungai Tengah, Desa Sungai Tengah, Kecamatan Paloh, menyuarakan protes keras terhadap dugaan penjualan lahan hutan kawasan seluas ratusan hektare yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga. Aksi penolakan ini mencuat setelah sejumlah warga menemukan adanya transaksi lahan yang diduga melibatkan oknum perangkat dusun, termasuk kepala dusun, ketua RT, hingga anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Markal, salah satu warga Sungai Tengah, mengungkapkan bahwa penjualan lahan tersebut sudah berlangsung berulang kali dan dilakukan secara sepihak. Ia menyebut masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengelolaan maupun penjualan lahan yang luasnya diperkirakan mencapai 100 hingga 200 hektare.
“Selama ini masyarakat hanya ingin memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam demi menunjang ekonomi keluarga. Tapi ketika meminta lahan, selalu dijawab tidak ada lagi. Ternyata, lahan-lahan itu sudah dijual,” ungkap Markal.
Ia menambahkan bahwa masyarakat telah berulang kali menyampaikan keluhan kepada pihak desa dan kepolisian agar menindaklanjuti dugaan penjualan ilegal tersebut. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut atau kejelasan dari pihak terkait.
“Penjualan lahan tersebut diduga melanggar aturan karena sebagian wilayah yang dijual merupakan kawasan hutan produksi yang seharusnya tidak boleh diperjualbelikan. Dalam dokumen yang diperoleh masyarakat, disebutkan adanya surat pernyataan, surat penyerahan, hingga nominal transaksi yang menunjukkan adanya praktik jual beli,” jelasnya.
Markal menegaskan, jika benar lahan tersebut merupakan kawasan hutan produksi, maka aparat penegak hukum harus menindak siapa pun yang terlibat dalam praktik penjualan ilegal. “Kalau memang hutan produksi tidak boleh dijual, maka penegak hukum harus menindak siapa pun yang melakukannya. Jangan hanya rakyat kecil yang selalu ditekan dengan alasan kawasan hutan,” tegasnya.
Ia menuturkan, sebagian lahan yang dijual bahkan sudah mulai dikerjakan oleh pihak investor dari luar daerah. Aktivitas tersebut menimbulkan keresahan warga karena dianggap memperkuat dugaan bahwa lahan itu benar-benar telah berpindah tangan.
“Dalam dokumen yang kami pegang hanya tercatat 56 hektare, sedangkan sisanya tidak berani mereka tunjukkan. Tapi di lapangan, kegiatan pengelolaan sudah berjalan. Kami menuntut kejelasan siapa pemilik sebenarnya dan untuk apa lahan itu digunakan,” tutupnya. (Run)

0 Komentar