Moderasi Beragama di Era Polarisasi Digital: Menjaga Harmoni di Tengah Perbedaan


Di era digital saat ini, informasi menyebar lebih cepat daripada refleksi. Media sosial yang semula menjadi ruang berbagi dan bertukar pikiran, perlahan berubah menjadi arena pertempuran opini yang sering kali membelah, bukan menyatukan. Polarisasi digital tak hanya memengaruhi pandangan politik atau sosial, tetapi juga menembus ranah keberagamaan. Ketika tafsir keagamaan disebarkan tanpa filter, dan emosi lebih cepat diklik daripada verifikasi, maka moderasi beragama menjadi semakin penting untuk digaungkan.

 

Moderasi beragama bukan berarti memaksakan keseragaman dalam keyakinan, melainkan mengedepankan sikap adil, toleran, dan menghindari sikap ekstrem dalam beragama. Prinsip ini sangat relevan dalam konteks Indonesia yang majemuk, tempat di mana kebinekaan adalah kenyataan sehari-hari. Dalam konteks digital, moderasi beragama menjadi benteng agar ruang maya tidak dipenuhi ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama.

 

Sayangnya, algoritma digital sering kali memperkuat pandangan yang serupa dan mengabaikan keragaman perspektif. Akibatnya, ruang digital menjadi sempit, eksklusif, dan berpotensi melahirkan radikalisme digital. Di sinilah pentingnya literasi digital dan literasi keagamaan diperkuat secara bersamaan, agar generasi muda tidak hanya cakap dalam teknologi, tetapi juga bijak dalam menyaring informasi keagamaan.

 

Peran tokoh agama, pendidik, dan institusi keagamaan sangat krusial untuk menghadirkan narasi-narasi damai, sejuk, dan inklusif di ruang publik digital. Konten keagamaan yang menyejukkan, dialog lintas iman, serta edukasi toleransi berbasis nilai-nilai luhur Pancasila harus menjadi arus utama di tengah derasnya informasi yang memecah belah.

 

Moderasi beragama adalah pilihan jalan tengah yang tidak lemah, justru menunjukkan kekuatan moral dan kecerdasan sosial dalam menjaga persatuan. Di tengah era polarisasi digital, moderasi beragama bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak agar harmoni sosial tetap terjaga, dan perbedaan tidak menjadi alasan untuk saling menjatuhkan. Mari kita jadikan ruang digital sebagai taman dialog, bukan ladang konflik, demi Indonesia yang damai dan bersatu dalam keberagaman.

 

Penulis: Bayu, M.Pd Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)

Posting Komentar

0 Komentar