Pojokkatanews.com - Rencana kenaikan gaji Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat pusat kembali menuai kontroversi. Kritik keras datang dari Luffi Ariadi, Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa Hukum Sambas, yang menilai kebijakan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan sosial.
Menurutnya, alasan alih beban negara yang digunakan sebagai justifikasi justru kontradiktif dengan kenyataan di lapangan. Guru sebagai pilar utama pendidikan masih banyak yang menerima upah jauh di bawah standar hidup layak.
“Ini bukan sekadar ketimpangan, melainkan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yang mewajibkan negara menghadirkan kesejahteraan bagi tenaga pendidik,” tegas Luffi, Jumat (22/8/2025).
Ia menyebut kebijakan tersebut cacat secara moral sekaligus konstitusional. Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 31 UUD 1945, katanya, jelas menjamin hak atas imbalan kerja yang adil serta hak pendidikan warga negara. Hal itu diperkuat dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menegaskan bahwa guru berhak atas penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum.
Namun, realitas di Sambas masih banyak guru honorer yang gajinya bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
“Ironisnya, alokasi anggaran daerah kerap tidak mencerminkan prioritas pada sektor pendidikan. Padahal UU Nomor 23 Tahun 2014 mewajibkan Pemda menempatkan pendidikan sebagai urusan wajib pelayanan dasar,” katanya.
Luffi mendesak Pemda Sambas segera merumuskan kebijakan afirmatif guna meningkatkan kesejahteraan guru, sekaligus mendorong DPRD Sambas agar bersuara lantang menolak kebijakan elitis di pusat.
Selain itu, mahasiswa hukum Sambas juga menuntut adanya transparansi anggaran, agar publik mengetahui apakah pendidikan benar-benar diposisikan sebagai prioritas utama pembangunan.
“Perjuangan ini bukan hanya soal angka gaji, tetapi soal keadilan sosial sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, bahwa kekayaan negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ingatlah, suara rakyat adalah suara Tuhan,” pungkasnya. (Run)
0 Komentar