Di wilayah perbatasan, kehidupan keagamaan tidak hanya berkaitan dengan soal keyakinan, tetapi juga menyatu erat dengan identitas budaya, nasionalisme, dan realitas sosial yang kompleks. Perbatasan bukan sekadar garis geografis, tetapi ruang hidup yang menyimpan dinamika keberagaman dan tantangan kebangsaan. Di sinilah moderasi beragama menemukan perannya yang paling strategis: sebagai jembatan harmoni di tengah keberagaman dan tekanan globalisasi lintas batas.
Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat, misalnya, sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia, merupakan potret kecil dari Indonesia yang majemuk. Di sana, masyarakat hidup berdampingan dalam perbedaan suku, agama, bahasa, dan bahkan pengaruh budaya negara tetangga. Situasi ini membuka peluang interaksi lintas identitas yang sangat kaya, namun sekaligus rentan terhadap konflik apabila tidak dikelola secara bijak. Maka, moderasi beragama bukan hanya jargon, melainkan kebutuhan nyata.
Moderasi beragama mengajarkan keseimbangan: beragama secara berpegang teguh pada nilai-nilai keimanan, namun tetap membuka ruang dialog, toleransi, dan penghargaan terhadap sesama. Nilai-nilai ini menjadi penting dalam konteks perbatasan yang rentan disusupi paham intoleran, radikal, atau bahkan praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan semangat kebangsaan.
Lembaga pendidikan, tokoh agama, dan aparat pemerintah daerah perlu menjadi garda terdepan dalam membumikan moderasi beragama. Sekolah-sekolah dan madrasah dapat membekali generasi muda dengan pemahaman agama yang rahmatan lil ‘alamin, bukan sempit dan eksklusif. Demikian pula, ruang-ruang ibadah harus menjadi tempat pemersatu, bukan sekat pemisah antarkelompok.
Lebih dari itu, di wilayah perbatasan, moderasi beragama harus disinergikan dengan pendekatan kultural dan nilai lokal. Masyarakat Sambas, misalnya, telah lama mengenal nilai musyawarah, gotong royong, dan adat istiadat yang sejalan dengan semangat moderasi. Inilah kekuatan lokal yang harus dirawat dan dikembangkan, bukan ditinggalkan demi paham luar yang tidak kontekstual.
Menjaga perbatasan bukan hanya soal menjaga wilayah, tapi juga menjaga harmoni sosial dan kohesi kebangsaan. Ketika moderasi beragama dijadikan landasan kehidupan bersama, perbatasan justru bisa menjadi contoh hidup tentang bagaimana Indonesia merawat kebinekaan dalam kerukunan. Maka dari itu, di ujung negeri, mari kita kuatkan komitmen untuk beragama secara damai, toleran, dan penuh cinta tanah air.
Penulis : Poniam, M.Pd Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)
0 Komentar